Krisis Karakter Bangsa
Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter guna
revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang
publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998
hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa.
Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam
kehidupan
politik yang
pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural
memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali
watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘
nation and character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis
dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis
pula
dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi
yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor
tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung
semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa
menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural
bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara
keseluruhan.
Masa sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa reformasi”
kita
agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita pembentukan
masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi agenda
yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja,
Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu
demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “
too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “
too much democracy”,
yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi
yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum
sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu
legislatif dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan
Pilpres 8 Juni 2009, yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun
pada pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah
putus di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban
nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian
politik.
Dengan begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai
disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan
masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali
watak atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi
semakin meningkat dan nyaring.
Kebijakan Kemendikbudnas mengutamakan
pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di
tanah air kita.
Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu
terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf.
International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami
disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga
karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu
kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama,
sosial-budaya
nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup
hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak
ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV
Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan
rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari
keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter.
Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di
sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan
bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan
sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (
righteousness) dan
inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (
split personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan
sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter
bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat
menyangkut kurikulum yang
overload, fasilitas yang tidak
memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah.
Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya
dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih
merupakan sekadar tempat bagi
transfer of knowledge daripada
character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.